Pengajian Rutinan Bulanan Ikatan Remaja Masjid Al-Istiqomah Se Kec. Kedungwaringin
Hari : Sabtu 31,Oktober 2015
Waktu : Ba'da Isya - Selesai
Alamat : Kp.Kapek Rt/Rw 001/008
Desa/Kel : Mekar Jaya
Kec: Kedungwaringin
Kab.Bekasi
Selasa, 13 Oktober 2015
Kamis, 01 Oktober 2015
Ustadz Jaka Pledek - Ceramah bulan Muharram (Tahun Baru Islam)
Tahun Baru
Islam
Oleh: Ustadz Abdul Hamid
Yang saya
hormati para alim ulama, para asatidz, para hujjaj, para sesepuh kampung, bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian....
Wabil
khusus... Al-Alim... guru kita...
Wabil
khusus... Bapak Walikota...
Saudara-saudara
kaum muslimin rahimakumullah...
Rasanya, ketika kita berbicara tentang hijrah, tentang Muharram, atau tentang tahun baru Islam, tidak ada sesuatu yang baru atau menarik bagi kita. Sekilas pandang, kita –seakan– merasa sudah terlalu pandai dalam mengenali bulan Islam yang satu ini. Benarkah demikian? Sudahkah khasanah keilmuan kita, sesuai dan memadai sebagai seorang muslim yang sejatinya mengenal dengan baik tentang bulan-bulan Islam.
Sejarah bulan Hijriah
Sejarah mencatat, manusia pertama yang berhasil mengkristalisir hijrah nabi sebagai event terpenting dalam penaggalan Islam adalah Sayidina Umar bin Al Khattab, ketika beliau menjabat sebagai Khalifah. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah.
Namun demikian, Sayidina Umar sendiri tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada para sahabat nabi. Sebagaimana biasanya, beliau selalu memusyawarahkan setiap problematika umat kepada para sahabatnya. Masalah yang satu ini pun tak pelak dari diktum diatas. Karenanya, beberapa opsi pun bermunculan. Ada yang menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, awal diresmikannya (dibangkitkannya) Muhammad Saw sebagai utusannyalah yang merupakan timing waktu paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam Islam.
Walaupun demikian, nampaknya Sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pendapat –sayidina Ali karamallâhu wajhah-- yang meng-afdoliah-kan peristiwa hijrah sebagai tonggak terpenting ketimbang event-event lainnya dalam sejarah Islam, pada masalah yang satu ini. Relevan dengan klaim beliau: “Kita membuat penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, adalah lebih karena hijrah tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil.
Dalam penulisan tahun Hijriah sendiri, biasa ditulis dengan karakter hurup (هـ) dalam bahasa Arab, atau (A.H.) singkatan dari Anno Hegirea (sesudah hijrah) untuk bahasa-bahasa Eropa. sedangkan untuk bahasa Indonesia biasa ditulis dengan (H.). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, hari Jumat.
Yang Unik Dalam Hijriah
Nampaknya, ada sesuatu yang unik dalam kalenderisasi Islam ini. Ketika sejarah mengatakan, bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal –bukan pada bulan Muharram--, tapi mengapa pada dataran realita, pilihan jatuh pada bulan Muharram, bukan pada bulan Rabiul Awal, sebagai pinangan pertama bagi awal penanggalan Islam.
Memang, dalam peristiwa hijrah ini Nabi bertolak dari Mekah menuju Madinah pada hari Kamis terakhir dari bulan Safar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, tepatnya pada hari Senin tanggal 13 September 622.
Hanya saja, Sayidina Umar beserta sahabat-sahabatnya menginginkan bulan Muharram sebagai awal tahun hijriah. Ini lebih karena, beliau memandang di bulan Muharramlah Nabi berazam untuk berhijrah, padanya Rasulullah Saw selesai mengerjakan ibadah haji, juga dikarenakan dia termasuk salah satu dari empat bulan haram dalam Islam yang dilarang Allah untuk berperang di dalamnya. Sehingga Rasulullah pernah menamakannya dengan “Bulan Allah”. sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik puasa selain dari puasa Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. ( Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihya).
Ternyata keunikan awal Hijriah tidak hanya sampai di situ. Biasanya, pada hari kesepuluh dari bulan tersebut, sebagian orang dari kampung kita membuat makanan sejenis bubur yang dinamakan bubur Asyura, atau mungkin dalam bentuk lain semacam nasi tumpeng, maupun makanan lain sejenisnya, tergantung budaya masing-masing tempat dalam mengekspresikan rasa bahagianya terhadap hari Islam tersebut.
Sepertinya, yang menjadi unik bagi kita –sebagai kaum terpelajar– adalah tradisi bubur Asyura tersebut. Adakah hubungannya dengan Islam? Asyura itu sendiri terambil dari ucapan “`Asyarah”, yang berarti sepuluh. Hari Asyura, hari yang ke sepuluh dari bulan Muharram.
Islam memerintahkan umatnya untuk berpuasa sunah dan meluaskan perbelanjaan kepada keluarganya pada hari tersebut.
Kalau kita berupaya untuk menelusuri keterangan dari junjungan kita, Rasulullah Saw, dari hadits sahihnya kita dapati, bahwa ia adalah hari yang bersejarah bagi umat Yahudi, karena pada hari itulah Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s. serta para pengikutnya, disaat menenggelamkan Firaun.
Adapun tradisi bubur Asyura --berdasarkan riwayat dhaif--, karena pada hari itu Allah mengaruniakan nikmat yang besar kepada para nabi terdahulu, sejak zaman Nabi Adam As. hingga Nabi kita Muhammad Saw.
Konon, di hari Asyura ini, ketika Nabi Nuh As. dan para pengikutnya turun dari bahtera, mereka semuanya merasa lapar dan dahaga, sedangkan perbekalan masing-masing telah habis. Maka Nabi Nuh As. meminta masing-masing membawa satu genggam biji-bijian dari jenis apa saja yang ada pada mereka. Terkumpullah tujuh jenis biji-bijian, semuanya dicampurkan menjadi satu, lalu dimasak oleh beliau untuk dijadikan bubur. Berkat ide Nabi Nuh As., kenyanglah para pengikutnya pada hari itu. Dari cerita inilah, dikatakan sunat membuat bubur Asyura dari tujuh jenis biji-bijian untuk dihidangkan kepada fakir miskin pada hari itu.
Menurut hemat penulis, semua pada asalnya boleh-boleh saja, selagi tidak bertentangan dengan kaidah agama yang lain. Terlebih, di saat tradisi semacam ini mengandung nilai positif dan seiring (implisit) dengan ajaran Islam. Hanya saja, yang selalu ditekankan oleh junjungan kita, hendaknya manusia selalu mengenang dan mengingat hari ketika Allah menurunkan nikmat atau azab kepada manusia, agar kita semua dapat bersyukur, sadar dan insaf kepada-Nya. Mungkin sekedar inilah yang ditekankan Rasululullah Saw. berkenaan dengan hari Asyura tersebut.
Sebagaimana gejala lain terkadang kita dapati juga dari masyarakat kita –masyarakat Bekasi atau Betawi--, berkenaan dengan Muharram ini. Semacam tradisi atau bahkan keyakinan tentang tidak mau melangsungkan akad pernikahan di bulan ini. Fenomena semacam ini, apakah memang ada landasannya dalam Islam, atau hanya sekedar khurafat, bahkan mungkin karena kontaminasi dan pengaruh kultur Islam-Kejawen yang terkadang masih melekat dalam budaya Indonesia.
Muharram dalam perspektif Islam, merupakan salah satu dari empat bulan haram yang ada dalam Islam (Rajab, Zulka’dah, Zulhijjah dan Muharram). Dalam empat bulan ini, kita dilarang melancarkan peperangan kecuali dalam kondisi darurat yang tidak dapat kita elakan. Firman Allah Swt dalam surah At Taubah ayat 36: “Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah ada dua belas bulan (yang telah ditetapkan) di dalam kitab Allah ketika menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu adalah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar larangan-Nya).
Berdasarkan ayat ini, segala aktifitas kebaikan tidak ada larangannya untuk dilakukan di bulan Muharram. Demikian juga dengan bulan Rajab, Zulka’dah dan Zulhijjah. Hanya maksiat dan kezaliman saja yang dilarang lebih keras oleh Allah Swt pada bulan-bulan tersebut. Adapun aktifitas positif --semacam pernikahan--, dalam perspektif Islam adalah satu aktifitas atau amalan kebajikan, bukan maksiat dan kezaliman. oleh karenanya, tidak ada larangan dalam Islam untuk melangsungkan acara perkawinan di bulan Muharram.
Namun saya lebih melihat, bahwa ketabuan semacam ini, --barangkali-- adalah sebagai pengaruh dari doktrin Syiah. Secara kebetulan, Sayidina Hussain terbunuh di Karbala pada bulan Muharram. Karenanya masyarakat Syiah memandang bulan Muharram sebagai bulan dukacita dan bulan berkabung. Maka mereka menghukumi haram untuk melangsungkan akad dan resepsi pernikahan, atau acara suka-ria lainnya di bulan itu. Pemahaman semacam ini tersebar luas ke negara-negara Islam dan akhirnya sampai ke negara kita (wallahu a’lam).
Mengingat bahwa kalender hijriah dihitung berdasarkan rotasi bulan yang berlawanan dengan rotasi matahari, maka mengakibatkan semua hari-hari besar Islam dapat terjadi pada musim-musim yang berbeda. Sebagai contoh, musim haji dan bulan puasa, bisa terjadi pada musim dingin atau pada musim panas. Dan yang perlu diingat, hari-hari besar Islam tidak akan terjadi persis dengan musim kejadiannya, kecuali sekali dalam 33 tahun.
Kita pun sering menemukan perbedaan di antara beberapa kalender hijriah yang dicetak, perbedaan tersebut terjadi dikarenakan:
Pertama, tidak ada standardisasi internasional tentang cara melihat anak bulan.
Kedua, penggunaan cara penghitungan dan proses melihat bulan yang berbeda.
Ketiga, keadaan cuaca dan peralatan yang dipakai dalam melihat anak bulan.
Dari sini, maka tidak akan ditemukan adanya program penanggalan hijriah yang 100 persen benar, sehingga proses melihat anak bulan (ru’yah) masih tetap relevan –meskipun sebenarnya dilematis-- dalam penentuan hari besar, seperti bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha.
Eksistensi Hijrah
Menginterpretasikan hijrah sebagai the founding of Islamic Community seperti dideskripsikan oleh Fazlur Rahman (guru besar kajian Islam di Universitas Chicago), sepenuhnya benar dan dapat dielaborasi dalam perspektif sejarah.
Hijrah menggambarkan perjuangan menyelamatkan akidah, penghargaan atas prestasi kerja, dan optimisme dalam meraih cita-cita. Itulah sebabnya, Fazlur Rahman menyebut peristiwa hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calender and the founding of Islamic Community. Sebagaimana klaim seorang profesor di bidang kultur Indo-Muslim Universitas Harvard, Annemarie Schimmael, menyebut hijrah sebagai tahun (periode) menandai dimulainya era muslim dan era baru menata komunitas muslim.
Kelahiran Piagam Madinah, yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai Konstitusi Madinah dan konstitusi modern yang pertama di dunia, adalah proklamasi tentang terbentuknya suatu ummah.
Karena hijrah bukanlah pelarian akibat takut terhadap kematian, karena tidak mung-kin Rasulullah takut terhadap kematian. Sebab jika Rasulullah Saw mempertahankan eksistensi kaum muslimin di Makkah kala itu, ini akan menyulitkan kaum muslimin itu sendiri, yang waktu itu baru berjumlah 100-an orang. Rasulullah berhijrah setelah mempersiapkan kondisi psikologis dan sosiologis di kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II di musim haji.
Adapun dalam mengembangkan makna hijrah untuk menarik relevansi kekiniannya, jelas tidak harus menggunakan parameter sosiologis sejarah jaman Rasulullah. Karena menarik sosiologi sejarah menjadi kemestian yang harus dilalui itu merupakan kemuskilan. Karena Rasulullah telah tiada. Jadi memaknai makna hijrah saat ini adalah dengan menarik peristiwa itu sebagai ibrah (pelajaran).
Cita-cita dari hijrah Nabi Saw adalah untuk mewujudkan peradaban Islam yang kosmopolit dalam wujud masyarakat yang adil, humanis, egaliter, dan demokratis tercermin dalam keputusan Nabi mengganti nama Yastrib menjadi Madinah, atau Madinatul Munawarah (kota yang bercahaya), yaitu kota par exellence, tempat madaniyah atau tamadun, berperadaban.
Transformasi Kebijaksanaan Sejarah
Peristiwa hijrah ke Madinah atau yang saat ini kita peringati sebagai tahun baru Hijrah (1 Muharram 1419), adalah peristiwa yang di dalamnya tersimpan suatu kebijaksanaan sejarah (sunnatullah) agar kita senantiasa mengambil hikmah, meneladani, dan mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran Rasulullah saw (sunnatur-rasul). Setidaknya ada tiga hal utama dari serangkaian peristiwa hijrah Rasulullah, yang agaknya amat penting untuk kita transformasikan bagi konteks kekinian.
Pertama, adalah transformasi keummatan. Bahwa nilai penting atau missi utama hijrah Rasulullah beserta kaum muslimin adalah untuk penyelamatan nasib kemanusiaan. Betapa serangkaian peristiwa hijrah itu, selalu didahului oleh fenomena penindasan dan kekejaman oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat kecil. Pada spektrum ini, orientasi keummatan mengadakan suatu transformasi ekonomi dan politik.
Kebijaksanaan hijrah, sebagai sunnatullah dan sunnatur-rasul, di mana masyarakat mengalami ketertindasan, adalah merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, orang yang mampu hijrah tetapi tidak melaksanakannya disebut sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim). sebab luasnya bumi dan melimpahnya rezeki di atasnya, pada dasarnya memang disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah (QS 4: 97-100).
Tujuan dari hijrah, dalam visi al-Qur'an itu, agar manusia dapat mengenyam 'kebebasan'. Jadi tidak semata-mata perpindahan fisik dari satu daerah ke satu daerah lain, apalagi hanya sekadar untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik belaka, melainkan lebih dari itu melibatkan hijrah mental-spiritual, sehingga mereka memperoleh 'kesadaran baru' bagi keutuhan martabatnya. Hijrah Nabi ke Madinah, telah terbukti mampu mewujudkan suatu kepemimpinan yang di dalamnya berlangsung tatanan masyarakat berdasarkan moral utama (makarimal akhlaq), suasana tentram penuh persaudaraan dalam pluralitas (ukhuwah) dan pengedepanan misi penyejahteraaan rakyat (al-maslahatu al-ra'iyah).
Kedua, adalah transformasi kebudayaan. Hijrah dalam konteks ini telah mengentaskan masyarakat dari kebudayaan jahili menuju kebudayaan Islami. Jika sebelum hijrah, kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal, otoritarian dan destruktif-permissifistik, maka setelah hijrah hak-hak asasi mereka dijamin secara perundang-undangan (syari'ah). Pelanggaran terhadap syari'ah bagi seorang muslim, pada dasarnya tidak lain adalah penyangkalan terhadap keimanan atau keislamannya sendiri. Bahkan lebih dari itu, pelanggaran terhadap hak-hak aasasi yang telah dilindungi dan diatur dalam Islam, akan dikenai hukum yang tujuannya untuk mengembalikan keutuhan moral mereka dan martabat manusia secara universal.
Nilai transformatif kebudayaan berasal dari ajaran hijrah Rasulullah, dengan demikian pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan keutuhan moral dan martabat kemanusiaan secara universal (rahmatan lil-'alamiin). Mengenai apa saja martabat kemanusiaan atau hak-hak asasi --yang merupakan pundamen utama suatu kebudayaan-- yang dilindungi Islam, al-Qur'an telah menggariskan pokok-pokoknya seperti perlindungan fisik individu dan masyarakat dari tindakan badani di luar hukum, perlindungan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, perlindungan keluarga dan keturunan, perlindungan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, perlindungan untuk menyatakan pendapat dan berserikat dan perlindungan untuk mendapatkan persamaan derajat dan kemerdekaan.
Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah, yang dalam konteks hijrah, dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan persaudaraan kaum Muslimin dengan kaum Yahudi dan Nasrani, sesungguhnya adalah basis utama dari misi (kerisalahan) yang diemban Rasulullah. Dari sejarah kita mengetahui, bahwasanya yang pertama menunjukkan 'tanda-tanda kerasulan' pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya Abu Thalib berdagang ke Syria. Kemudian pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), kaum muslimin ditolong oleh raja Najasy. Dan pada saat membangun kepemimpinan Madinah, kaum muslimin bersama kaum Yahudi dan Nasrani, bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian. Karena itulah, pada masa kepemimpinan Nabi dan sahabat, Islam secara tertulis mengeluarkan undang-undang yang melindungi kaum Nasrani dan Yahudi. Wallahu ‘l hâdi ilâ sabîlirrasyâd!
Menyongsong Tahun Baru Hijriyah
"Dan katakanlah! Beramallah maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS: At-Taubah:105)
Tidak terasa umur kita bertambah satu tahun lagi. Itu berarti jatah hidup kita berkurang dan semakin mendekatkan kita kepada rumah masa depan, kuburan. Pelajaran yang terbaik dari perjalanan waktu ini adalah menyadari sekaligus mengintrospeksi sepak terjang kita selama ini. Kita punya lima hari yang harus kita isi dengan amal baik. Hari pertama, yaitu masa lalu yang telah kita lewati apakah sudah kita isi dengan hal-hal yang dapat memperoleh ridho Allah? Hari kedua, yaitu hari yang sedang kita alami sekarang ini, harus kita gunakan untuk yang bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Hari ketiga, hari yang akan datang, kita tidak tahu apakah itu milik kita atau bukan. Hari keempat, yaitu hari kita ditarik oleh malaikat pencabut nyawa menyudahi kehidupan yang fana ini, apakah kita sudah siap dengan amal kita? Hari kelima, yaitu hari perhitungan yang tiada arti lagi nilai kerja atau amal, apakah kita mendapatkan rapor yang baik, dimana tempatnya adalah surga, atau mendapat rapor dengan tangan kiri kita, yang menunjukan nilai buruk tempatnya di neraka. Pada saat itu tidak ada lagi arti penyesalan. Benar sekali kata seorang ulama besar Tabi'in, bernama Hasan Al-Basri, "Wahai manusia sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari, setiap hari berkurang, berarti berkurang pula bagaianmu." Umar bin Khatab berkata, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab." Wallahu a'lam bishshowab...
Saya akhiri,
Billahi taufik
wal hidayah.... Hadanallahu wa'iyyakum ajma'in... akhiran... aqulu lakum...
Assalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh...
Ustadz Jaka Pledek - Peringatan Muharram
السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا
ومولانا محمد بن عبدالله وعلى اله وصحبه ومن تبعه الى يوم القيامة ولا حول ولا قوة
الا بالله. اما بعد
Hadirin yang dimuliakan Allah,
Pertama-tama, yang paling utama dan yang harus di utamakan, marilah
kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Biqoulina الحمد لله رب العالمين, Yang telah memberikan kita banyak nikmat, yang kita tidak akan
pernah mampu untuk menghitug banyaknya, seperti yang telah Allah sebutkan dalam
Al-qur’an, salah satunya adalah nikmat iman dan islam serta nikmat sehat,
sehingga kita dapat bertatap muka, bermuajjahah dalam kesempatan yang
InsyaAllah penuh barokah ini, Amin. Kedua kalinya, Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Manusia yang paling baik akhlaknya, paling indah
tutur katanya, paling santun pekertinya, Nabi akhiruzzaman, Nabi yang paling
mulia, Baginda Rasulullah محد
SAW. Biqoulina اللهم صل على سيدنا محمد , Semoga kita yang berada dalam majlis ini termasuk kedalam umatnya
yang akan tercatat dalam tinta emas orang-orang yang akan menerima Syafaat
Beliau besok di yaumil akhir, Amin Ya Robbal A’lamin.
Hadirin yang berbahagia,
Bulan Muharram, adalah termasuk salah satu dari 4 bulan yang di
muliakan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah dalam
KitabNya yang mulia, Al Qur’an Al Karim. Kemuliaan bulan Muharram adalah karena
dalam bulan itu terdapat hari Asyuro’ (10 Muharram), dimana pada hari itu banyak sekali keutaman-keutamaan yang jika
kita mau beramal soleh, tentu akan kita peroleh Rahmat dari Allah.
Di hari itu
kita disunnahkan untuk menyayangi anak yatim dengan mengusap kepalanya dan
memberinya sedekah. Selain itu kita juga di sunnahkan untuk melapangkan makanan
untuk keluarga di rumah seperti memasakkan makanan yang spesial dan lain dari
hari biasanya.
Sunnah lain
yang tak kalah penting adalah berpuasa di hari itu. Bahkan Rasullulah SAW
bersabda bahwa “barang siapa yang berpuasa pada hari Asyuro’, maka seakan-akan
ia telah berpuasa setahun lamanya”, itulah keutaman hari Asyuro’ yang terdapat
dalam bulan Muharram ini.
Bukan tanpa
alasan kita disunnahkan untuk berpuasa pada hari itu, karena jika kita melihat
sejarah, banyak peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tanggal tersebut,
diantaranya adalah:
2. Nabi Nuh di
selamatkan dari banjir bah pada tanggal ini.
3. Nabi Ibrahim
diselamatkan dari api yang membakarnya pada tanggal ini.
4. Nabi Yusuf
dan Ya’kub di pertemukan kembali pada tanggal ini. Menurut Alquran Nabi Yusuf
yang ditinggalkan oeh saudara-saudaranya sejak kecil dan terpisah dari nabi
Ya’kub puluhan tahun lamanya. Dan selama puluhan tahun itu juga nabi Yakub
menangis dan merindukan nabi Yusuf. Kemudian berkat Rahmat Allah, Nabi Yakub
dan Yusuf dipertemukan kembali pada hari itu.
5. Nabi Yunus
dikeluarkan dari perut ikan pada tanggal ini,
6. Nabi Khidir
di beri ilmu pada tanggal ini,
7. Allah
menciptakan surga dan neraka pada tanggal ini,
8. Allah
menciptakan malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail pada tanggal ini.
9. Allah
menciptakan Arsy dan Kursi Nya pada tanggal ini. Allah menciptakan Kalam, bumi
dan langit juga pada tanggal ini.
Itulah peristiwa-peristiwa
penting yang pernah terjadi pada hari Asyuro’, semoga kita termsuk kedalam
orang-orang yang mampu meraih kemuliaan dalam hari yang di muliakan itu, Amiin.
Hadirin Rahimakumullah,
Untuk
menjalani kehidupan pada tahun ini kita harus menggunakan siasat yang mampu
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
1.
Kita harus memperhitungkan
terhadap kepentingan hidup dimasa yang akan datang terutama di akhirat dengan
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2.
Kita harus mau dan mampu melihat
kesalahan dan dosa diri kita sendiri pada tahun yang lalu, kemudian kita
beraubat dan memperbaiki diri dengan mengerjakan amal saleh. Sebagaimana Firman
Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 39, yang artinya : “Maka barang siapa yang
bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka
sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi
maha penyayang”.
3.
Kita harus menyadari bahwa setan
adalah musuh yang nyata bagi kita, maka semua rayuan dan bujukan syetan berupa
minuman khamr, narkoba, judi, zina dan perbuatan maksiat lainnya harus
ditinggalkan karena merugikan dan menyengsarakan diri kita, baik di dunia
maupun di akhirat.
Itulah tiga
hal yang merupakan strategi yang mungkin bisa kita lakukan dalam menjalani
hidup ditahun ini. Semoga Allah SWT mengampuni dosa kita pada tahun yang lalu,
meridhoi ibadah dan amal saleh kita, serta memberikan kesehatan dan umur
panjang kepada kita dan keluarga, sehingga dapat meningkatkan ibadah dan amal
saleh pada tahun ini, Amiin.
Akhirnya,
pada tahun yang baru ini marilah kita bersama-sama memperbaiki haliyah kita,
perbuatan kita, ibadah kita, serta semangat kita dalam berjuang di jalan Allah.
Demikian
yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan apa yang disampaikan ini bisa memberi bermanfaat
bagi kita semua. Amin Amin ya Rabbal alamin. Terimakasih atas perhatiannya,
mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan.
Akhirul kalam, Billaahi taufiq
walhidayah.
و السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته
Langganan:
Postingan (Atom)